Aku
memandang kertas yang baru saja diberikan oleh dosenku. Lembar jawab UTS fisika yang baru saja
sebulan lalu kukerjakan, sekarang berada di hadapanku, dan kertas itu menatapku
balik seolah menertawakanku.
Sampai
sekarang aku tak mengerti kenapa mahasiswi fakultas farmasi sepertiku masih
dicekoki fisika. Seingatku salah satu
alasanku memilih fakultas tersebut setidaknya untuk menjauhkanku dari fisika.
Lalu
apa yang kudapat? Fisika adalah mata kuliah wajib bagi mahasiswa tahun pertama—diikuti
dengan kalkulus.
Di
kertas itu tak terpampang nilai total, hanya nilai per soal yang
dituliskan. Intinya, aku harus
menghitung sendiri nilai fisikaku. Dari
soal isian pendek yang skor maksimalnya empat, kebanyakan aku hanya mendapat
poin satu atau dua. Sambil menggigit
bibir bawahku keras-keras—kebiasaan buruk yang entah sejak kapan kulakukan ketika
aku sedang tegang, aku menghitung semua skornya, termasuk poin soal uraian—yang
aku yakin hanya untuk basa-basi, menghargaiku karena telah mengarang jawaban aneh
bin ajaib untuk soal uraian yang menyebalkan itu.
Dan apa
yang kutakutkan terjadi. Dari nilai
maksimal seratus, aku hanya mendapat dua puluh tiga untuk UTS pertamaku. Sambil (lagi-lagi) menggigit bibir bawahku,
aku memperkirakan berapa skor UTS keduaku agar aku bisa mendapat nilai akhir
setidaknya B untuk fisikaku, berdasarkan rumus perhitungan nilai akhir.
Pada
akhirnya, aku harus mendapat nilai minimal delapan puluh enam pada UTS keduaku
untuk nilai akhir B. Dibawah itu, aku
harus puas dengan nilai akhir C atau lebih buruk lagi aku harus mengikuti UAS
yang biasanya dikhususkan untuk mahasiswa dengan nilai akhir kurang dari C.
Benar-benar
awal minggu yang begitu indah.
***
Bisa
bertemu dengan teman SMAku di akhir pekan merupakan sesuatu yang sudah lama
kutunggu-tunggu. Kami memang jarang
bertemu semenjak kelulusan, karena universitas kami berbeda-beda, bahkan rasnya
mengatur jadwal yang pas agar semuanya bisa datang pun sulit sekali.
Aku
beranjak turun dari bis tepat di depan restoran tempat kami janjian. Aku dapat melihat Ino yang melambai-lambai ke
arahku bersama Tenten yang bersiap memasuki restoran itu. Sesegera mungkin aku menghampiri mereka.
“Hai, forehead!
Gara-gara jadi anak Todai kulihat
keningmu makin lebar saja, eh?” ujar Ino setelah kami berpelukan melepas rindu.
“Katakan apapun yang kau mau, pig mood-ku sedang baik hari ini,” ujarku sambil nyengir.
“Hinata akan menyusul segera setelah kuliahnya selesai. Semoga saja ia tidak terjebak macet,” ujar
Tenten saat kami berjalan ke tempat duduk.
Kami
bercerita macam-macam tentang kehidupan kuliah.
Yang lebih menyenangkan lagi, akhirnya aku bisa mengobrol dengan
seseorang—Ino,
mengenai beberapa otome game juga
hal-hal semacam itu yang tak pernah kubicarkan pada siapapun di kampus. Tidak lupa juga aku meminta beberapa game
kepadanya untuk mengisi waktu luangku.
Dan
entah kenapa, tiba-tiba tema pembicaraan kami menjadi soal percintaan. Ino bercerita kalau ia kena modus salah satu senpainya. Sejujurnya aku tak begitu mengerti tentang modus—bahkan Tenten sudah berusaha
menjelaskan itu padaku tapi sampai saat ini pun aku tak begitu mengerti, tapi sejauh yang kutangkap, Ino dan senpainya
itu kini sering mengobrol via jejaring sosial dan sedang dalam masa PDKT.
Tema
itu makin seru saat Hinata datang. Tak
kusangka, gadis pemalu itu juga tampak senang di-modus-I oleh teman sekelasnya, meskipun ia mengaku kalau ia
menyukai kakak angkatannya. Sementara
obrolan makin seru dan Tenten semakin bersemangat—bukan suatu hal yang aneh
karena ia selalu penasaran dengan kehidupan cinta teman-temannya. Aku sendiri hanya memerhatikan pembicaraan
mereka sambil sesekali ber-hn ria atau tersenyum ke arah mereka.
Sama
sekali bukan tipe percakapan yang kunantikan, pikirku sambil memutar bola
mataku bosan.
Dan tiba-tiba
saja pandangan mereka tertuju ke arahku.
“Lalu Sakura bagimana?”
“Eh?”
“Ayolah, masa’ nggak nemu satu atau dua cowok di Todai?” pancing Tenten.
“Uhm… ya, ada satu yang menarik perhatianku sih. Salah satu senpai yang pernah membimbing
praktikum fisikaku. Kalian tahu kan
rumahku jauh sekali dari kampus dan aku pulang pergi naik kereta plus bus, dan
dia ternyata tinggal di daerah yang sama denganku, hanya saja dia membawa motor
sendiri. Yah, dia semacam kagum karena
aku bisa pulang-pergi dengan jarak sejauh itu,” ujarku datar.
“Waah! Terus, kamu pernah diantar pulang?”
“Nggak tuh,” ujarku lagi datar.
Akhirnya
mereka kembali membicarakan tentang beberapa pasangan di SMA kami dulu dan
membahas apakah pasangan-pasangan tersebut masih berhubungan atau tidak. Yah, kisah love-life Haruno Sakura memang lebih membosankan daripada berita di
televisi. Karena jujur saja, saat ini
menurutku bukan saat yang tepat untuk mengkhwatirkan soal cowok.
Dan
entah kenapa aku merasa… aneh berada di antara sahabat baikku sendiri.
***
Menjelang
pukul tujuh malam—yah kami mengobrol sekitar tujuh jam tanap pindah tempat
dan mungkin saja membuat kesal pelayan di restoran tersebut, kami akhirnya
berpencar untuk pulang ke rumah masing-masing, karena arah rumah kami berbeda. Aku memutuskan untuk berjalan ke daerah
pertokoan untuk menghilangkan rasa aneh yang sejak tadi menyelimuti hatiku.
Meskipun
aku sudah memakan dua gelas cola float
ditambah nasi dan burger, untuk memperbaiki moodku
yang tidak jelas aku mampir ke toko es krim yang dulu sering kukunjungi bersama
Ino, Tenten, dan Hinata. Kuambil es krim
stik rasa vanila favoritku dari dulu hingga sekarang. Tak menghiraukan udara yang dingin di awal
bulan November, kubiarkan es krim yang dingin itu meleleh di lidahku,
mendinginkan kepalaku yang terasa berat, mencairkan kabut di dalam hatiku.
Karena
terlalu sibuk memikirkan masalahku sendiri, tanpa sadar aku menabrak orang yang
berjalan berlawanan arah denganku.
Untungnya aku berhasil mengondisikan tanganku agar es krim stik vanilaku
tidak bertumbukan dengan orang yang kutabrak.
“Ah, maafkan sa…”
Tanpa
sempat melanjutkan kata-kataku, aku menghentikan ucapanku sendiri karena
terlalu kaget dengan sosok orang yang kutabrak.
“Konbanwa, Haruno-san,” kelopak matanya tertutup, menandakan
ia tersenyum di balik maskernya. Baik di
dalam maupun di luar lab kimia ia tetap memakai maskernya, entah kenapa.
Di
antara semua orang yang kukenal, entah kenapa takdir mempertemukanku dengan
Hatake Kakashi-sensei di saat suasana hatiku tak menentu seperti ini.
“Konbanwa, Hatake-sensei,” aku mebalas sambil membungkuk
hormat ke arahnya.
“Ya ampun, Haruno-san, kau masih memanggilku sensei di saat
seperti ini?” sepasang mata heterokromia—yang satu seindah langit malam yang satu
berkilau seperti batu rubi, memandangnya tak percaya.
“Bagaimanapun ‘kan sensei pernah menjadi guruku. Sekali sensei, tetap sensei, meski aku sudah
bukan murid sensei lagi,” kilahku.
Hatake
Kakashi adalah guru yang pernah mengajar kimia saat aku kelas 2 dan 3 SMA. Populer karena masker yang menutupi sebagian
wajahnya—Ino
bilang ada wajah tampan di balik masker itu meski ia belum pernah melihatnya
sendiri, plus mata heterokromia.
Meskipun dia bukan tipe orang yang suka diperhatikan, toh penampilannya memang
menarik perhatian. Tipe guru yang biasa
saja, lebih suka berinteraksi dengan senyawa kimia dan bereksperimen untuk
jurnal ilmiah daripada tebar pesona seperti guru muda lain seumurannya, namun
tidak menolak siapapun yang benar-benar tertarik dengan kimia atau yang
membutuhkan bantuan di pelajaran tersebut.
Dan ia bisa membedakan dengan lihai siswi yang menghampirinya dengan
niat murni untuk belajar atau bertanya dengan siswi yang hanay ingin
menggodanya.
Aku sendiri
cukup dekat dengannya karena satu waktu ia pernah meminta bantuanku untuk
menjadi editor karya ilmiah yang akan ia kirimkan ke salah satu jurnal
ilmiah. Dan ia berterimakasih padaku
karena akhirnya karya ilmiahnya dimuat di salah satu jurnal ilmiah yang
terkenal setelah ia berkali-kali gagal memuat karya ilmiahnya di jurnal
tersebut dan harus puas dengan jurnal kampus almamaternya sebagai tempat akhir karya
ilmiahnya.
Padahal,
sungguh, aku tak begitu banyak membantu, selain sedikit menyunting di sana-sini
juga membetulkan letak karya ilmiah yang salah dan mengecek kalimat ambigu atau
kalimat tidak efektif lainnya. Tapi aku
bersyukur bisa dekat dengannya karena di luar dugaan aku merasa nyaman berada
di dekatnya. Padahal kupikir ia hanya
peduli soal senyawa kimia atau struktur Lewis, tapi ternyata ia cukup banyak
tahu tentang semua murid di Konoha High School.
Ia senang menjadi pengamat, katanya.
“Panggil nama depan dengan akhiran sensei juga
boleh,” ujarnya datar. Entah
kenapa kalimat itu membuat pipiku merona, namun aku segera menepis perasaan
aneh lainnya itu.
“Kalau begitu, Kakashi-sensei, panggil aku Sakura, deal?”
“Deal, Sakura-san.”
Embel-embel
san masih ia pakai di ujung kalimat,
mungkin agar terkesan sopan atau bagaimana, aku tak mengerti. Padahal ia bisa saja menghilangkan
embel-embel itu, kalau ia mau. Toh, aku
juga tidak keberatan.
Duh,
aku ini mikir apa, sih?
“Ngomong-ngomong tidak biasanya kau kesini, Sakura-san. Ada acara apa?” ia membuka obrolan sambil
berjalan ke suatu tempat. Tak punya
tujuan lain dan jam malamku masih lama, aku memutuskan untuk mengikutinya,
sambil sesekali menjilat es krim stik vanilaku yang hampir habis. Namun pertanyaannya membuatku teringat
kembali pada perasaan aneh yang kualami saat aku bersama para sahabatku.
“Aku janjian dengan Ino, Tenten, dan Hinta untuk sesi
curhat. Biasalah,” kujawab sedatar
mungkin, tapi aku sendiri sadar ada yang aneh dengan nada bicaraku.
“Oh. Bagaimana kabar
mereka?”
“Mereka baik, begitulah.”
Aku
merasa mata heterokromianya menilik ke arahku sebentar.
“Sakura-san, mau kubelikan taiyaki?” ujarnya tiba-tiba
sambil menunjuk penjual taiyaki di depan kami.
Aku tak percaya kalau ia masih ingat kalau aku suka makanan dengan selai
kacang merah. Terlihat taiyaki yang
masih mengepul dan terlihat lezat, apalagi di tengah suhu yang cukup dingin di
akhir musim gugur.
“Tidak terima kasih, aku sudah memastikan perutku kenyang
selama acara kami berlangsung,” tolakku sopan.
Aku baru saja bertemu dengannya setelah beberapa bulan dan rasanya tidak
enak kalau langsung semangat begitu ditraktir, meski hanya untuk sebuah
taiyaki.
“Ayolah, aku yakin pasti selalu ada ruang untuk sebuah
taiyaki,” bujuknya.
Ya,
untuk makanan favoritku pasti akan selalu ada ruang yang cukup. Aku sendiri tahu kalau aku masih bisa
menghabiskan lima taiyaki saat itu juga.
Tapi sekali lagi aku menggeleng.
“Tidak, terima kasih,” dengan nada kesal aku menolak. Sejujurnya bukan karena Kakashi-sensei terus
memaksa, hanya saja perasaan aneh itu makin menyesakkan hatiku.
“Aku memaksa, lho, Sakura,” Kakashi memandangka dengan
tatapan yang menyeramkan, persis seperti Yamato-sensei guru fisikaku di SMA
dulu. Sejak kapan ia belajar tatapan
seperti itu dari Yamato-sensei?
“Baiklah, baiklah…”
Sambil
menunggu antrian, Kakashi-sensei tiba-tiba memmulai pembicaraan lagi.
“Selamat ya, sudah menjadi mahasiswi Todai,” ucapnya tulus
sambil tersenyum. “Aku belum mengatakan
itu, eh?”
Aku
terkejut dengan nada bicaranya saat menyelamatiku. Nada bicaranya berbeda dengan guru-guru lain
yang tahu kalau aku diterima di Todai.
Aku hanya memandangnya bingung.
“Kenapa, Sakura-san?”
ujarnya, menyadari tatapanku yang begitu intens tadi.
“Tidak… hanya saja, cara sensei menyelamatiku berbeda dari
guru-guru lain. Sensei tahu sendiri,
‘kan, kalau aku bukan murid yang terpintar di kelas. Bahkan rankingku selalu berada di peringkat
pertengahan-akhir, tidak seperti Tenten.
Guru-guru lain begitu terkejut sampai menyelamatiku dengan perasaan
kaget, termasuk wali kelasku. Karena
bahkan Tenten sekalipun tak diterima di Todai.
Aku ini benar-benar seperti kuda hitam, eh?” aku tertawa pahit. Lalu kuingat nilai fisikaku yang baru-baru
ini kuterima, dan aku selalu berpikir apakah aku pantas berada di sana, berada
di Todai?
“Karena aku berbeda dengan guru lainnya, Sakura-san. Aku yakin kalau kau bisa lolos ujian Todai,”
ujarnya sambil (lagi-lagi) tersenyum.
Sebelum aku bertanya lebih lanjut, ia melanjutkan kalimatnya.
“Aku tahu kau tidak secerdik Tenten, tapi kau punya
kemampuan menangkap yang bagus. Tipe
pekerja keras. Dan yang paling mengagumkan
adalah integritasmu, Sakura-san. Aku
sering melihat kau belajar fisika sendiri, menyalin rumus-rumus yang telah kau
hapal mati-matian untuk mengetes dirimu, sementara teman sekelasmu yang lain
sibuk mengerjakan soal ujian fisika yang dibocorkan kelas lain.”
Ah… aku
ingat masa-masa itu. Untuk pertama kali
setidaknya aku punya prinsip yang selalu kupatuhi sampai saat ini yaitu untuk
tidak mencotek atau melakukan segala jenis kecurangan ketika ulangan, meski itu
artinya aku tidak akan lulus.
Dulu,
ujian fisika selalu dibagi per kloter.
Aku selalu kebagian kloter kedua karena nomor urut absenku berada di
deretan akhir. Dan kelasku selalu dapat
ujian dua jam setelah kelas sebelahku ujian, dan mereka selalu berbaik hati
menyalin soalnya dan memberitahukan kepada kami, tak peduli meski ada tiga soal
yang mebahas bab yang berbeda-beda.
Lalu, teman-teman sekelasku akan mengerjakan soal itu—ya,
ketiga jenis soal itu dan dibantu dengan murid-murid ranking atas yang
ikut-ikutan mengerjakan, sebelum ujian itu dimulai. Sehingga, saat mereka berada di ruang ujian
mereka hanya perlu mengumpulkan jawaban dari soal yang mereka dapatkan yang
sudah mereka kerjakan sebelumnya.
Sementara
aku tidak mau melakukan hal itu. Aku
menghormati Yamato-sensei karena cara mengjarnya memang cocok denganku—begitu
juga gaya mengajar Kakashi-sensei, meskipun pada akhirnya mungkin Yamato-sensei
menganggapku sebuah kerikil diantara mutiara.
Kalau kau melihat daftar nilai fisika di kelasku, disana berderet angka
smbilan puluh sekian dan sebuah angka tujuh puluh sekian akan tampak begitu
kontras, itu nilaiku. Nilai dari hasil
jerih payahku yang akan selalu kubanggakan.
“Dan kamu sama sekali tidak minder menjadi satu-satunya
siswa dengan nilai tujuh puluh diantara sekumpulan sembilan puluh sekian. Baik di pelajaranku—kimia maupun fisika. Aku tahu kalau saat aku menyuruh kalian
memeriksakan ujian teman kalian kalian selalu membetulkannya bukan begitu? Tapi
tidak seperti yang lain, nilaimu memang terlalu kontras. Kau pasti tidak berpesan pada pemeriksamu
untuk mengedit jawaban disana-sini,” ia tertawa kecil.
“Ya. Lalu kalau
sensei tahu akan hal itu, kenapa sensei tidak menegur mereka atau memotong
nilai mereka?” ujarku kesal. Kupikir ia
tak tahu semua itu.
“Aku ini cukup jahat untuk membiarkan mereka dalam
kesesatan,” ada sedikit sinar tajam di matanya.
“Selain itu, bukankah remaja seusia kalian saat itu sudah tahu mana yang
benar dan yang salah, bukan? Kalau mereka berani melakukan itu, mereka harusnya
sudah tahu dan berani menanggung resikonya, yaitu tidak pernah mengerti betul
akan pelajaran.”
Aku
memandangnya tak percaya. Rasanya aku
punya banyak alasan untuk mengaguminya.
Cara pandangnya begitu berbeda dan sangat menarik. Mungkin karena sudah terlatih menjadi seorang
pengamat?
“Bersyukurlah kamu punya integritas seperti itu,
Sakura. Itulah yang membuatmu pantas
menjadi mahasiswi Todai, dan aku tahu kau pasti akan kuliah di sana,” ujarnya
sambil menepuk kepalaku.
Aku
tidak percaya dengan apa yang kudengar.
Banyak orang—bahkan orang tuaku menganggap remeh prinsipku itu. Dan disini, aku mendengar sesorang
memujinya. Meskipun aku tidak pintar dan
prinsip itu membuatku lebih bodoh lagi—begitu kata orang-orang, aku tidak
pernah peduli dan terus menjalaninya, meski terkadang membuatku merasa begitu
sendirian.
Dan
akhirnya disini, aku mengetahui ada orang yang memuji prinsip bodhku itu. Dan orang itu adalah orang yang selalu
kukagumi. Hatake Kakashi-sensei, seorang
pengamat dan peneliti yang ulet, aku bisa melihatnya dari karya ilmiahnya yang
pernah kuedit.
“Tapi aku baru saja mendapat nilai 23 untuk fisika dasar,”
ujarku sedih. “Bukankah itu membuktikan
kalau aku tak pantas berada di sana?”
“Hei, Sakura-san, sejauh yang kuingat kau ini anak yang
optimis. Masih ada ujian lain dan tugas
untuk mengejar nilai, kan? Aku yakin kau bisa mendapat B,” ujarnya sambil
menepuk pundakku, menenangkanku. “Aku
bisa membantu, mungkin dengan meminta tolong Tenzou untuk mengajarimu.”
Rasanya
bebanku seolah terangkat seketika.
Kakashi-sensei
memberikanku taiyaki yang masih hangat.
Kami lalu duduk di bangku terdekat, dan menunggu temperature taiyaki itu
menurun sedikit.
“Jadi, apa yang terjadi saat reuni kecil kalian?” tanyanya
tiba-tiba.
“Eh?”
“Kau tampak kebingungan dan tidak dalam suasana hati yang
baik. Mau bercerita?” tawarnya.
Aku
menggigit bibir bawahku, tegang. Aku
bingung apakah harus cerita atau tidak.
Jika aku menceritakannya, mungkin saja sensei akan menertawakanku atau
mungkin saja ia tahu rasa tidak enak macam apa yang melingkupi hatiku saat ini.
Tapi
rasa penasaranku melebihi rasa takutku.
Setelah menggigit bagian kepala taiyaki dan membiarkan krim kacang smerah
yang manis meleleh di lidahku, aku mulai bicara.
“Awalnya semua lancar-lancar saja. Kami mengobrol soal inisiasi kampus, senpai
menyebalkan, dan aku puas bisa mengobrol dengan Ino soal games,” aku mengambil napas sejenak, memerhatikan Kakashi-sensei
yang tengah membagi dua taiyakinya lalu memakan ekornya—cara memakan taiyaki yang
jarang kulihat, lalu melanjutkan.
“Namun tiba-tiba saja mereka mengubah tema menjadi
percintaan. Padahal, seingatku, dulu
kami begitu bahagia menjadi single ladies,
namun ternyata mereka sudah punya kisah cinta masing-masing.”
Aku
menceritakan cerita Ino dan senpainya, Hinata dengan teman seangkatannya, dan
Tenten yang terdengar begitu ahli soal percintaan. Aku tahu sebenarnya itu bukan hal yang pantas
dibicarakan, apalagi pada guru SMAku, tapi memang sudah sifatku begitu,
mengatakan apa yang ada di kepalaku.
“Lalu mereka bertanya tentang kisahku. Sensei tahu, prinsipku yang lain adalah untuk
tidak berhubungan intens melalui pesan singkat atau jejaring sosial setidaknya
sampai aku berhasil naik ke tingkat dua, karena pada dasarnya aku belum
tertarik dengan hal seperti itu dan aku harus fokus pada pelajaranku. Yah, memang aku pernah menyukai satu atau dua
orang tapi aku hanya melihat saja, tak lebih,” ujarku sambil mengingat beberapa
orang yang pernah kusukai. Bayangan
Uchiha Sasuke memang mendominasi dari yang lainnya, tapi saat ini aku tak punya
perasaan khusus lagi padanya.
“Lalu, saat mereka tidak mengacuhkanku—mungkin
karena kisah bualanku tak begitu menarik, rasanya hatiku… terasa aneh… ”
“Seperti tertinggal jauh? Merasa bukan seperti bukan
tempatmu, begitu?” balasnya sambil menatapku serius. Aku tak menyangka ia menanggapinya seserius
itu.
“Iya, seperti itu.”
“Perasaan out of place
eh?”
Rasanya
kata-kata itu begitu tepat.
“Iya. Dan itu
membuatku bingung, antara mereka move on
meninggalkanku atau aku move on
melupakan mereka, sibuk dengan kuliahku.
Sampai-sampai tidak ada waktu untuk setidaknya berhubungan dengan
laki-laki dan memuaskan mereka dengan cerita cintaku.”
Kakashi-sensei
memejamkan matanya, menghela napas pelan, lalu memandangku sambil tersenyum.
“Sakura-san, apa kau menyesal atau merasa tidak nyaman
karena pilihanmu untuk mematuhi prinsip keduamu itu? Kesampingkan
sahabat-sahabatmu, bagaimana kau merasakannya?”
“Aku… justru merasa nyaman dengan mematuhi prinsip itu,”
ucapku jujur setelah berpikir sejanak.
“Lalu, Sakura-san, apa yang kau risaukan? Kau merasa nyaman
dan prinsip itu prinsip yang bagus. LAlu
apa yang harus kau risaukan selain kau harus menaikkan nilai fisikamu?” ujarnya
sambil tersenyum.
Rasanya
dadaku tertohok. Kakashi-sensei
mengatakan sesuatu yang amat logis yang bahkan tak terpikir olehku.
“Sakura-san, kau sudah mengambil pilihan yang bijak, pilihan
yang mungkin sulit diambil gadis-gadis lain seusiamu. Kau berani mengambil pilihan tersulit dan kau
sudah mengondisikan dirimu nyaman dengan pilihan itu. Itu sesuatu yang hebat, Sakura-san, kau tahu
itu?”
Aku
merasa senyumannya menjadi senyuman bangga kepadaku. Meski ia tersenyum dibalik masker, entah
kenapa dadaku berdesir setiap kali ia tersenyum, dan aku meras pipiku memerah.
“Kalau soal laki-laki, Sakura-san, aku yakin suatu saat
nanti kamu akan menemukannya. Tak perlu
terburu-buru, semua akan terjadi kalau memang harus terjadi, juga jangan merasa
minder karena sahabat-shabatmu. Dan
untuk gadis yang hebat dan kuat sepertimu, Sakura-san, aku yakin akan ada
banyak pria yang akan jatuh cinta padamu.”
Ucapan
Kakashi-sensei membuatku jadi malu sendiri.
Refleks aku memukul pundaknya.
“Pukulanmu memang selalu hebat, Sakura-san!”
“Tentu saja,” ujarku bangga.
Angin
malam yang sejuk dan perkataan Kakashi-sensei seolah mengusir perasaan aneh itu
entah kemana. Aku menikmati semilir
angin yang memainkan rambut merah mudaku.
Perasaanku begitu ringan sehingga aku mungkin saja bisa terbang.
‘Apa sensei juga termasuk
dari jutaan pria itu, eh?’
Aku
terkejut pada pikiranku sendiri. Refleks
aku mengusir pikiran itu jauh-jauh
Tapi…aku
berbohong kalau aku tidak berharap…
“Jadi kau sudah tahu, ‘kan mana yang seharusnya kau pikirkan
saat ini?”
“Yep. Nilai 86 agar
nilai akhir fisikaku menjadi B,” ujarku yakin.
“Bagus.”
Ia
menepuk kepalaku sekali lagi, membuat pipiku merona dan jantungku
berdesir. Aku benar-benar bersyukur
bertemu dengannya hari ini.
“Sudah malam, Sakura-san, biar kuantar pulang. Bis ke arah rumahmu sudah tidak ada, bukan?”
tanya Kakashi-sensei sambil melihat jam di salah satu toko dekat kami.
“Benar juga…”
Kakashi
sensei menyuruhku memasuki mobilnya. Aku
hanya cengengesan saat duduk di sebelahnya.
“Ada apa, Sakura-san?”
“Hanya membayangkan bagaimana reaksi pacar sensei kalau
melihat sensei bersama gadis cantik sepertiku,” ujarku sambil tertawa kecil.
“Sayang sekali, Sakura-san, aku belum punya pacar,” ujarnya
sambil tersenyum penuh kemenangan. Entah
kenapa aku merasa inner selfku yang
dari tadi diam saja menari-nari dipikiranku.
Karena pernyataan sensei itu, eh?
Tawaku
berubah menjadi seringaian.
“Hm… pantas saja sensei begitu mengerti masalahku. Ternyata kita senasib, eh? Sensei dan karya
ilmiah sementara aku dengan kuliahku.”
“Jangan mengejek gurumu, Sakura-san,” ujarnya kesal sambil
mengacak rambut merah mudaku.
Seringaianku berubah menjadi tawa kemenangan.
Perjalanan
menuju rumahku begitu singkat. Kami
sampai di rumahku saat kami sedang seru mengobrol tentang beberapa novel yang
sama-sama kami sukai.
“Nah, Sakura-san, oyasumi nasai,” ujar sensei saat
meninggalkanku di depan pintu rumahku.
“Oyasumi nasai, Kakashi-sensei,” ujarku.
Saat
punggungnya menjauh entah kenapa aku merasa… kesepian? Aku tidak mengerti,
lagi-lagi perasaan kompleks menyelimuti hatiku.
Tapi kali ini, perasaan itu begitu menyesakkan, sehingga aku harus
melakukan sesuatu untuk mengatasinya.
‘Cepat panggil dia,
bodoh!’ inner selfku membentak,
membuatku reflex menyerukan namanya.
“Kakashi sensei!!”
Ia
berbalik menghadapku.
“Hn?”
Aku
membungkuk ke arahnya.
“Terima kasih banyak untuk hari ini, dan…” aku tak yakin
kalau aku mampu melanjutkan kalimatku, tapi pada akhirnya kupaksakan diriku
menyelesaikan kalimatku sambil menatap mata heterokromianya. “Apakah sensei keberatan kalau aku sesekali ingin
bertemu dengan sensei untuk… mengobrol? Mungkin aku bisa membantu mengedit karya
ilmiah sensei untuk jurnal ilmiah dan um…”
Perkataanku
terputus instrumental karya Toshio Masuda mengalun dari telepon genggamku. Sebuah panggilan tak terjawab dari nomor yang
tak terdaftar di kontak telepon genggamku.
Dan saat aku melihat ke arah Kakashi-sensei, ia mengacungkan telepon
genggamnya.
“Itu nomorku. Aku tak
keberatan selama kau memastikan untuk menghubungiku sebelum kau datang. Dan, terima kasih telah mengingatkanku soal
jurnal ilmiah, sepertinya lagi-lagi aku butuh bantuanmu. Kau keberatan?” ujarnya sambil menggaruk
rambutnya yang keperakan—gerakan yang menyatakan maaf merepotkan.
“Sama sekali tidak sensei.
Aku senang kalau aku bisa membantu,” ujarku semangat. Aku lalu memastikan kalau aku memeberikan
senyum terbaikku padanya. “Oyasumi
nasai, Kakashi-sensei.”
“Oyasumi nasai, Sakura.”
Aku
segera masuk ke rumahku. Cepat-cepat aku
menyimpan nomor Kakashi-sensei di kontak telepon genggamku dan memastikan
kontaknya berada di speed dial
seperti nomor orang tuaku dan ketiga sahabatku.
Tunggu…
kenapa sensei bisa tahu nomorku?
Dan
kalau tidak salah dengar… bukankah dia baru saja menyebut namaku tanpa
embel-embel san?
***
Normal POV
Pria
dengan rambut perak itu menyeringai di balik maskernya sambil mengemudikan Peugeot
hitamnya.
“Kuharap aku bisa melihat wajah bingung dan terkejutnya saat
ia berpikir kenapa aku mengetahui nomornya dan saat menyadari kalau aku
memanggil namanya tanpa suffix… Dan mukanya akan diwarnai dengan gradasi warna
merah…”
Tak
lama, seringainya berubah menjadi tawa kecil.
Ah, murid berambut merah mudanya itu memang selalu berhasil membuatnya
lepas dari kepenatan setelah menyusun penelitian untuk karya ilmiahnya.
‘Syukurlah aku bertemu
dengannya malam ini.’