Cari Blog Ini

Sabtu, 03 November 2012

Pilihan


                Aku memandang kertas yang baru saja diberikan oleh dosenku.  Lembar jawab UTS fisika yang baru saja sebulan lalu kukerjakan, sekarang berada di hadapanku, dan kertas itu menatapku balik seolah menertawakanku.
                Sampai sekarang aku tak mengerti kenapa mahasiswi fakultas farmasi sepertiku masih dicekoki fisika.  Seingatku salah satu alasanku memilih fakultas tersebut setidaknya untuk menjauhkanku dari fisika.
                Lalu apa yang kudapat? Fisika adalah mata kuliah wajib bagi mahasiswa tahun pertama—diikuti dengan kalkulus.
                Di kertas itu tak terpampang nilai total, hanya nilai per soal yang dituliskan.  Intinya, aku harus menghitung sendiri nilai fisikaku.  Dari soal isian pendek yang skor maksimalnya empat, kebanyakan aku hanya mendapat poin satu atau dua.  Sambil menggigit bibir bawahku keras-keras—kebiasaan buruk yang entah sejak kapan kulakukan ketika aku sedang tegang, aku menghitung semua skornya, termasuk poin soal uraian—yang aku yakin hanya untuk basa-basi, menghargaiku karena telah mengarang jawaban aneh bin ajaib untuk soal uraian yang menyebalkan itu.
                Dan apa yang kutakutkan terjadi.  Dari nilai maksimal seratus, aku hanya mendapat dua puluh tiga untuk UTS pertamaku.  Sambil (lagi-lagi) menggigit bibir bawahku, aku memperkirakan berapa skor UTS keduaku agar aku bisa mendapat nilai akhir setidaknya B untuk fisikaku, berdasarkan rumus perhitungan nilai akhir.
                Pada akhirnya, aku harus mendapat nilai minimal delapan puluh enam pada UTS keduaku untuk nilai akhir B.  Dibawah itu, aku harus puas dengan nilai akhir C atau lebih buruk lagi aku harus mengikuti UAS yang biasanya dikhususkan untuk mahasiswa dengan nilai akhir kurang dari C.
                Benar-benar awal minggu yang begitu indah.
***
                Bisa bertemu dengan teman SMAku di akhir pekan merupakan sesuatu yang sudah lama kutunggu-tunggu.  Kami memang jarang bertemu semenjak kelulusan, karena universitas kami berbeda-beda, bahkan rasnya mengatur jadwal yang pas agar semuanya bisa datang pun sulit sekali.
                Aku beranjak turun dari bis tepat di depan restoran tempat kami janjian.  Aku dapat melihat Ino yang melambai-lambai ke arahku bersama Tenten yang bersiap memasuki restoran itu.  Sesegera mungkin aku menghampiri mereka.
“Hai, forehead! Gara-gara jadi anak Todai kulihat keningmu makin lebar saja, eh?” ujar Ino setelah kami berpelukan melepas rindu.
“Katakan apapun yang kau mau, pig mood-ku sedang baik hari ini,” ujarku sambil nyengir.
“Hinata akan menyusul segera setelah kuliahnya selesai.  Semoga saja ia tidak terjebak macet,” ujar Tenten saat kami berjalan ke tempat duduk.
                Kami bercerita macam-macam tentang kehidupan kuliah.  Yang lebih menyenangkan lagi, akhirnya aku bisa mengobrol dengan seseorang—Ino, mengenai beberapa otome game juga hal-hal semacam itu yang tak pernah kubicarkan pada siapapun di kampus.  Tidak lupa juga aku meminta beberapa game kepadanya untuk mengisi waktu luangku.
                Dan entah kenapa, tiba-tiba tema pembicaraan kami menjadi soal percintaan.  Ino bercerita kalau ia kena modus salah satu senpainya.  Sejujurnya aku tak begitu mengerti tentang modus—bahkan Tenten sudah berusaha menjelaskan itu padaku tapi sampai saat ini pun aku tak begitu mengerti,  tapi sejauh yang kutangkap, Ino dan senpainya itu kini sering mengobrol via jejaring sosial dan sedang dalam masa PDKT.
                Tema itu makin seru saat Hinata datang.  Tak kusangka, gadis pemalu itu juga tampak senang di-modus-I oleh teman sekelasnya, meskipun ia mengaku kalau ia menyukai kakak angkatannya.  Sementara obrolan makin seru dan Tenten semakin bersemangat—bukan suatu hal yang aneh karena ia selalu penasaran dengan kehidupan cinta teman-temannya.  Aku sendiri hanya memerhatikan pembicaraan mereka sambil sesekali ber-hn ria atau tersenyum ke arah mereka.
                Sama sekali bukan tipe percakapan yang kunantikan, pikirku sambil memutar bola mataku bosan.
                Dan tiba-tiba saja pandangan mereka tertuju ke arahku.
“Lalu Sakura bagimana?”
“Eh?”
“Ayolah, masa’ nggak nemu satu atau dua cowok di Todai?” pancing Tenten.
“Uhm… ya, ada satu yang menarik perhatianku sih.  Salah satu senpai yang pernah membimbing praktikum fisikaku.  Kalian tahu kan rumahku jauh sekali dari kampus dan aku pulang pergi naik kereta plus bus, dan dia ternyata tinggal di daerah yang sama denganku, hanya saja dia membawa motor sendiri.  Yah, dia semacam kagum karena aku bisa pulang-pergi dengan jarak sejauh itu,” ujarku datar.
“Waah! Terus, kamu pernah diantar pulang?”
“Nggak tuh,” ujarku lagi datar.
                Akhirnya mereka kembali membicarakan tentang beberapa pasangan di SMA kami dulu dan membahas apakah pasangan-pasangan tersebut masih berhubungan atau tidak.  Yah, kisah love-life Haruno Sakura memang lebih membosankan daripada berita di televisi.  Karena jujur saja, saat ini menurutku bukan saat yang tepat untuk mengkhwatirkan soal cowok.
                Dan entah kenapa aku merasa… aneh berada di antara sahabat baikku sendiri.
***
                Menjelang pukul tujuh malam—yah kami mengobrol sekitar tujuh jam tanap pindah tempat dan mungkin saja membuat kesal pelayan di restoran tersebut, kami akhirnya berpencar untuk pulang ke rumah masing-masing, karena arah rumah kami berbeda.  Aku memutuskan untuk berjalan ke daerah pertokoan untuk menghilangkan rasa aneh yang sejak tadi menyelimuti hatiku.
                Meskipun aku sudah memakan dua gelas cola float ditambah nasi dan burger, untuk memperbaiki moodku yang tidak jelas aku mampir ke toko es krim yang dulu sering kukunjungi bersama Ino, Tenten, dan Hinata.  Kuambil es krim stik rasa vanila favoritku dari dulu hingga sekarang.  Tak menghiraukan udara yang dingin di awal bulan November, kubiarkan es krim yang dingin itu meleleh di lidahku, mendinginkan kepalaku yang terasa berat, mencairkan kabut di dalam hatiku.
                Karena terlalu sibuk memikirkan masalahku sendiri, tanpa sadar aku menabrak orang yang berjalan berlawanan arah denganku.  Untungnya aku berhasil mengondisikan tanganku agar es krim stik vanilaku tidak bertumbukan dengan orang yang kutabrak.
“Ah, maafkan sa…”
                Tanpa sempat melanjutkan kata-kataku, aku menghentikan ucapanku sendiri karena terlalu kaget dengan sosok orang yang kutabrak.
“Konbanwa, Haruno-san,” kelopak matanya tertutup, menandakan ia tersenyum di balik maskernya.  Baik di dalam maupun di luar lab kimia ia tetap memakai maskernya, entah kenapa.
                Di antara semua orang yang kukenal, entah kenapa takdir mempertemukanku dengan Hatake Kakashi-sensei di saat suasana hatiku tak menentu seperti ini.
“Konbanwa, Hatake-sensei,” aku mebalas sambil membungkuk hormat ke arahnya.
“Ya ampun, Haruno-san, kau masih memanggilku sensei di saat seperti ini?” sepasang mata heterokromia—yang satu seindah langit malam yang satu berkilau seperti batu rubi, memandangnya tak percaya.
“Bagaimanapun ‘kan sensei pernah menjadi guruku.  Sekali sensei, tetap sensei, meski aku sudah bukan murid sensei lagi,” kilahku.
                Hatake Kakashi adalah guru yang pernah mengajar kimia saat aku kelas 2 dan 3 SMA.  Populer karena masker yang menutupi sebagian wajahnya—Ino bilang ada wajah tampan di balik masker itu meski ia belum pernah melihatnya sendiri, plus mata heterokromia.  Meskipun dia bukan tipe orang yang suka diperhatikan, toh penampilannya memang menarik perhatian.  Tipe guru yang biasa saja, lebih suka berinteraksi dengan senyawa kimia dan bereksperimen untuk jurnal ilmiah daripada tebar pesona seperti guru muda lain seumurannya, namun tidak menolak siapapun yang benar-benar tertarik dengan kimia atau yang membutuhkan bantuan di pelajaran tersebut.  Dan ia bisa membedakan dengan lihai siswi yang menghampirinya dengan niat murni untuk belajar atau bertanya dengan siswi yang hanay ingin menggodanya.
                Aku sendiri cukup dekat dengannya karena satu waktu ia pernah meminta bantuanku untuk menjadi editor karya ilmiah yang akan ia kirimkan ke salah satu jurnal ilmiah.  Dan ia berterimakasih padaku karena akhirnya karya ilmiahnya dimuat di salah satu jurnal ilmiah yang terkenal setelah ia berkali-kali gagal memuat karya ilmiahnya di jurnal tersebut dan harus puas dengan jurnal kampus almamaternya sebagai tempat akhir karya ilmiahnya.
                Padahal, sungguh, aku tak begitu banyak membantu, selain sedikit menyunting di sana-sini juga membetulkan letak karya ilmiah yang salah dan mengecek kalimat ambigu atau kalimat tidak efektif lainnya.  Tapi aku bersyukur bisa dekat dengannya karena di luar dugaan aku merasa nyaman berada di dekatnya.  Padahal kupikir ia hanya peduli soal senyawa kimia atau struktur Lewis, tapi ternyata ia cukup banyak tahu tentang semua murid di Konoha High School.  Ia senang menjadi pengamat, katanya.
“Panggil nama depan dengan akhiran sensei  juga  boleh,” ujarnya datar.  Entah kenapa kalimat itu membuat pipiku merona, namun aku segera menepis perasaan aneh lainnya itu.
“Kalau begitu, Kakashi-sensei, panggil aku Sakura, deal?”
“Deal, Sakura-san.”
                Embel-embel san masih ia pakai di ujung kalimat, mungkin agar terkesan sopan atau bagaimana, aku tak mengerti.  Padahal ia bisa saja menghilangkan embel-embel itu, kalau ia mau.  Toh, aku juga tidak keberatan.
                Duh, aku ini mikir apa, sih?
“Ngomong-ngomong tidak biasanya kau kesini, Sakura-san.  Ada acara apa?” ia membuka obrolan sambil berjalan ke suatu tempat.  Tak punya tujuan lain dan jam malamku masih lama, aku memutuskan untuk mengikutinya, sambil sesekali menjilat es krim stik vanilaku yang hampir habis.  Namun pertanyaannya membuatku teringat kembali pada perasaan aneh yang kualami saat aku bersama para sahabatku.
“Aku janjian dengan Ino, Tenten, dan Hinta untuk sesi curhat.  Biasalah,” kujawab sedatar mungkin, tapi aku sendiri sadar ada yang aneh dengan nada bicaraku.
“Oh.  Bagaimana kabar mereka?”
“Mereka baik, begitulah.”
                Aku merasa mata heterokromianya menilik ke arahku sebentar.
“Sakura-san, mau kubelikan taiyaki?” ujarnya tiba-tiba sambil menunjuk penjual taiyaki di depan kami.  Aku tak percaya kalau ia masih ingat kalau aku suka makanan dengan selai kacang merah.  Terlihat taiyaki yang masih mengepul dan terlihat lezat, apalagi di tengah suhu yang cukup dingin di akhir musim gugur.
“Tidak terima kasih, aku sudah memastikan perutku kenyang selama acara kami berlangsung,” tolakku sopan.  Aku baru saja bertemu dengannya setelah beberapa bulan dan rasanya tidak enak kalau langsung semangat begitu ditraktir, meski hanya untuk sebuah taiyaki.
“Ayolah, aku yakin pasti selalu ada ruang untuk sebuah taiyaki,” bujuknya.
                Ya, untuk makanan favoritku pasti akan selalu ada ruang yang cukup.  Aku sendiri tahu kalau aku masih bisa menghabiskan lima taiyaki saat itu juga.  Tapi sekali lagi aku menggeleng.
“Tidak, terima kasih,” dengan nada kesal aku menolak.  Sejujurnya bukan karena Kakashi-sensei terus memaksa, hanya saja perasaan aneh itu makin menyesakkan hatiku.
“Aku memaksa, lho, Sakura,” Kakashi memandangka dengan tatapan yang menyeramkan, persis seperti Yamato-sensei guru fisikaku di SMA dulu.  Sejak kapan ia belajar tatapan seperti itu dari Yamato-sensei?
“Baiklah, baiklah…”
                Sambil menunggu antrian, Kakashi-sensei tiba-tiba memmulai pembicaraan lagi.
“Selamat ya, sudah menjadi mahasiswi Todai,” ucapnya tulus sambil tersenyum.  “Aku belum mengatakan itu, eh?”
                Aku terkejut dengan nada bicaranya saat menyelamatiku.  Nada bicaranya berbeda dengan guru-guru lain yang tahu kalau aku diterima di Todai.  Aku hanya memandangnya bingung.
 “Kenapa, Sakura-san?” ujarnya, menyadari tatapanku yang begitu intens tadi.
“Tidak… hanya saja, cara sensei menyelamatiku berbeda dari guru-guru lain.  Sensei tahu sendiri, ‘kan, kalau aku bukan murid yang terpintar di kelas.  Bahkan rankingku selalu berada di peringkat pertengahan-akhir, tidak seperti Tenten.  Guru-guru lain begitu terkejut sampai menyelamatiku dengan perasaan kaget, termasuk wali kelasku.  Karena bahkan Tenten sekalipun tak diterima di Todai.  Aku ini benar-benar seperti kuda hitam, eh?” aku tertawa pahit.  Lalu kuingat nilai fisikaku yang baru-baru ini kuterima, dan aku selalu berpikir apakah aku pantas berada di sana, berada di Todai?
“Karena aku berbeda dengan guru lainnya, Sakura-san.  Aku yakin kalau kau bisa lolos ujian Todai,” ujarnya sambil (lagi-lagi) tersenyum.  Sebelum aku bertanya lebih lanjut, ia melanjutkan kalimatnya.
“Aku tahu kau tidak secerdik Tenten, tapi kau punya kemampuan menangkap yang bagus.  Tipe pekerja keras.  Dan yang paling mengagumkan adalah integritasmu, Sakura-san.  Aku sering melihat kau belajar fisika sendiri, menyalin rumus-rumus yang telah kau hapal mati-matian untuk mengetes dirimu, sementara teman sekelasmu yang lain sibuk mengerjakan soal ujian fisika yang dibocorkan kelas lain.”
                Ah… aku ingat masa-masa itu.  Untuk pertama kali setidaknya aku punya prinsip yang selalu kupatuhi sampai saat ini yaitu untuk tidak mencotek atau melakukan segala jenis kecurangan ketika ulangan, meski itu artinya aku tidak akan lulus.
                Dulu, ujian fisika selalu dibagi per kloter.  Aku selalu kebagian kloter kedua karena nomor urut absenku berada di deretan akhir.  Dan kelasku selalu dapat ujian dua jam setelah kelas sebelahku ujian, dan mereka selalu berbaik hati menyalin soalnya dan memberitahukan kepada kami, tak peduli meski ada tiga soal yang mebahas bab yang berbeda-beda.  Lalu, teman-teman sekelasku akan mengerjakan soal itu—ya, ketiga jenis soal itu dan dibantu dengan murid-murid ranking atas yang ikut-ikutan mengerjakan, sebelum ujian itu dimulai.  Sehingga, saat mereka berada di ruang ujian mereka hanya perlu mengumpulkan jawaban dari soal yang mereka dapatkan yang sudah mereka kerjakan sebelumnya.
                Sementara aku tidak mau melakukan hal itu.  Aku menghormati Yamato-sensei karena cara mengjarnya memang cocok denganku—begitu juga gaya mengajar Kakashi-sensei, meskipun pada akhirnya mungkin Yamato-sensei menganggapku sebuah kerikil diantara mutiara.  Kalau kau melihat daftar nilai fisika di kelasku, disana berderet angka smbilan puluh sekian dan sebuah angka tujuh puluh sekian akan tampak begitu kontras, itu nilaiku.  Nilai dari hasil jerih payahku yang akan selalu kubanggakan.
“Dan kamu sama sekali tidak minder menjadi satu-satunya siswa dengan nilai tujuh puluh diantara sekumpulan sembilan puluh sekian.  Baik di pelajaranku—kimia maupun fisika.  Aku tahu kalau saat aku menyuruh kalian memeriksakan ujian teman kalian kalian selalu membetulkannya bukan begitu? Tapi tidak seperti yang lain, nilaimu memang terlalu kontras.  Kau pasti tidak berpesan pada pemeriksamu untuk mengedit jawaban disana-sini,” ia tertawa kecil.
“Ya.  Lalu kalau sensei tahu akan hal itu, kenapa sensei tidak menegur mereka atau memotong nilai mereka?” ujarku kesal.  Kupikir ia tak tahu semua itu.
“Aku ini cukup jahat untuk membiarkan mereka dalam kesesatan,” ada sedikit sinar tajam di matanya.  “Selain itu, bukankah remaja seusia kalian saat itu sudah tahu mana yang benar dan yang salah, bukan? Kalau mereka berani melakukan itu, mereka harusnya sudah tahu dan berani menanggung resikonya, yaitu tidak pernah mengerti betul akan pelajaran.”
                Aku memandangnya tak percaya.  Rasanya aku punya banyak alasan untuk mengaguminya.  Cara pandangnya begitu berbeda dan sangat menarik.  Mungkin karena sudah terlatih menjadi seorang pengamat?
“Bersyukurlah kamu punya integritas seperti itu, Sakura.  Itulah yang membuatmu pantas menjadi mahasiswi Todai, dan aku tahu kau pasti akan kuliah di sana,” ujarnya sambil menepuk kepalaku.
                Aku tidak percaya dengan apa yang kudengar.  Banyak orang—bahkan orang tuaku menganggap remeh prinsipku itu.  Dan disini, aku mendengar sesorang memujinya.  Meskipun aku tidak pintar dan prinsip itu membuatku lebih bodoh lagi—begitu kata orang-orang, aku tidak pernah peduli dan terus menjalaninya, meski terkadang membuatku merasa begitu sendirian.
                Dan akhirnya disini, aku mengetahui ada orang yang memuji prinsip bodhku itu.  Dan orang itu adalah orang yang selalu kukagumi.  Hatake Kakashi-sensei, seorang pengamat dan peneliti yang ulet, aku bisa melihatnya dari karya ilmiahnya yang pernah kuedit.
“Tapi aku baru saja mendapat nilai 23 untuk fisika dasar,” ujarku sedih.  “Bukankah itu membuktikan kalau aku tak pantas berada di sana?”
“Hei, Sakura-san, sejauh yang kuingat kau ini anak yang optimis.  Masih ada ujian lain dan tugas untuk mengejar nilai, kan? Aku yakin kau bisa mendapat B,” ujarnya sambil menepuk pundakku, menenangkanku.  “Aku bisa membantu, mungkin dengan meminta tolong Tenzou untuk mengajarimu.” 
                Rasanya bebanku seolah terangkat seketika.
                Kakashi-sensei memberikanku taiyaki yang masih hangat.  Kami lalu duduk di bangku terdekat, dan menunggu temperature taiyaki itu menurun sedikit.
“Jadi, apa yang terjadi saat reuni kecil kalian?” tanyanya tiba-tiba.
“Eh?”
“Kau tampak kebingungan dan tidak dalam suasana hati yang baik.  Mau bercerita?” tawarnya.
                Aku menggigit bibir bawahku, tegang.  Aku bingung apakah harus cerita atau tidak.  Jika aku menceritakannya, mungkin saja sensei akan menertawakanku atau mungkin saja ia tahu rasa tidak enak macam apa yang melingkupi hatiku saat ini.
                Tapi rasa penasaranku melebihi rasa takutku.  Setelah menggigit bagian kepala taiyaki dan membiarkan krim kacang smerah yang manis meleleh di lidahku, aku mulai bicara.
“Awalnya semua lancar-lancar saja.  Kami mengobrol soal inisiasi kampus, senpai menyebalkan, dan aku puas bisa mengobrol dengan Ino soal games,” aku mengambil napas sejenak, memerhatikan Kakashi-sensei yang tengah membagi dua taiyakinya lalu memakan ekornya—cara memakan taiyaki yang jarang kulihat, lalu melanjutkan.
“Namun tiba-tiba saja mereka mengubah tema menjadi percintaan.  Padahal, seingatku, dulu kami begitu bahagia menjadi single ladies, namun ternyata mereka sudah punya kisah cinta masing-masing.”
                Aku menceritakan cerita Ino dan senpainya, Hinata dengan teman seangkatannya, dan Tenten yang terdengar begitu ahli soal percintaan.  Aku tahu sebenarnya itu bukan hal yang pantas dibicarakan, apalagi pada guru SMAku, tapi memang sudah sifatku begitu, mengatakan apa yang ada di kepalaku.
“Lalu mereka bertanya tentang kisahku.  Sensei tahu, prinsipku yang lain adalah untuk tidak berhubungan intens melalui pesan singkat atau jejaring sosial setidaknya sampai aku berhasil naik ke tingkat dua, karena pada dasarnya aku belum tertarik dengan hal seperti itu dan aku harus fokus pada pelajaranku.  Yah, memang aku pernah menyukai satu atau dua orang tapi aku hanya melihat saja, tak lebih,” ujarku sambil mengingat beberapa orang yang pernah kusukai.  Bayangan Uchiha Sasuke memang mendominasi dari yang lainnya, tapi saat ini aku tak punya perasaan khusus lagi padanya.
“Lalu, saat mereka tidak mengacuhkanku—mungkin karena kisah bualanku tak begitu menarik, rasanya hatiku… terasa aneh… ”
“Seperti tertinggal jauh? Merasa bukan seperti bukan tempatmu, begitu?” balasnya sambil menatapku serius.  Aku tak menyangka ia menanggapinya seserius itu.
“Iya, seperti itu.”
“Perasaan out of place eh?”
                Rasanya kata-kata itu begitu tepat.
“Iya.  Dan itu membuatku bingung, antara mereka move on meninggalkanku atau aku move on melupakan mereka, sibuk dengan kuliahku.  Sampai-sampai tidak ada waktu untuk setidaknya berhubungan dengan laki-laki dan memuaskan mereka dengan cerita cintaku.”
                Kakashi-sensei memejamkan matanya, menghela napas pelan, lalu memandangku sambil tersenyum.
“Sakura-san, apa kau menyesal atau merasa tidak nyaman karena pilihanmu untuk mematuhi prinsip keduamu itu? Kesampingkan sahabat-sahabatmu, bagaimana kau merasakannya?”
“Aku… justru merasa nyaman dengan mematuhi prinsip itu,” ucapku jujur setelah berpikir sejanak.
“Lalu, Sakura-san, apa yang kau risaukan? Kau merasa nyaman dan prinsip itu prinsip yang bagus.  LAlu apa yang harus kau risaukan selain kau harus menaikkan nilai fisikamu?” ujarnya sambil tersenyum.
                Rasanya dadaku tertohok.  Kakashi-sensei mengatakan sesuatu yang amat logis yang bahkan tak terpikir olehku.
“Sakura-san, kau sudah mengambil pilihan yang bijak, pilihan yang mungkin sulit diambil gadis-gadis lain seusiamu.  Kau berani mengambil pilihan tersulit dan kau sudah mengondisikan dirimu nyaman dengan pilihan itu.  Itu sesuatu yang hebat, Sakura-san, kau tahu itu?”
                Aku merasa senyumannya menjadi senyuman bangga kepadaku.  Meski ia tersenyum dibalik masker, entah kenapa dadaku berdesir setiap kali ia tersenyum, dan aku meras pipiku memerah.
“Kalau soal laki-laki, Sakura-san, aku yakin suatu saat nanti kamu akan menemukannya.  Tak perlu terburu-buru, semua akan terjadi kalau memang harus terjadi, juga jangan merasa minder karena sahabat-shabatmu.  Dan untuk gadis yang hebat dan kuat sepertimu, Sakura-san, aku yakin akan ada banyak pria yang akan jatuh cinta padamu.”
                Ucapan Kakashi-sensei membuatku jadi malu sendiri.  Refleks aku memukul  pundaknya.
“Pukulanmu memang selalu hebat, Sakura-san!”
“Tentu saja,” ujarku bangga.
                Angin malam yang sejuk dan perkataan Kakashi-sensei seolah mengusir perasaan aneh itu entah kemana.  Aku menikmati semilir angin yang memainkan rambut merah mudaku.  Perasaanku begitu ringan sehingga aku mungkin saja bisa terbang.
‘Apa sensei juga termasuk dari jutaan pria itu, eh?’
                Aku terkejut pada pikiranku sendiri.  Refleks aku mengusir pikiran itu jauh-jauh
                Tapi…aku berbohong kalau aku tidak berharap…
“Jadi kau sudah tahu, ‘kan mana yang seharusnya kau pikirkan saat ini?”
“Yep.  Nilai 86 agar nilai akhir fisikaku menjadi B,” ujarku yakin.
“Bagus.”
                Ia menepuk kepalaku sekali lagi, membuat pipiku merona dan jantungku berdesir.  Aku benar-benar bersyukur bertemu dengannya hari ini.
“Sudah malam, Sakura-san, biar kuantar pulang.  Bis ke arah rumahmu sudah tidak ada, bukan?” tanya Kakashi-sensei sambil melihat jam di salah satu toko dekat kami.
“Benar juga…”
                Kakashi sensei menyuruhku memasuki mobilnya.  Aku hanya cengengesan saat duduk di sebelahnya.
“Ada apa, Sakura-san?”
“Hanya membayangkan bagaimana reaksi pacar sensei kalau melihat sensei bersama gadis cantik sepertiku,” ujarku sambil tertawa kecil.
“Sayang sekali, Sakura-san, aku belum punya pacar,” ujarnya sambil tersenyum penuh kemenangan.  Entah kenapa aku merasa inner selfku yang dari tadi diam saja menari-nari dipikiranku.  Karena pernyataan sensei itu, eh?
                Tawaku berubah menjadi seringaian.
“Hm… pantas saja sensei begitu mengerti masalahku.  Ternyata kita senasib, eh? Sensei dan karya ilmiah sementara aku dengan kuliahku.”
“Jangan mengejek gurumu, Sakura-san,” ujarnya kesal sambil mengacak rambut merah mudaku.  Seringaianku berubah menjadi tawa kemenangan.
                Perjalanan menuju rumahku begitu singkat.  Kami sampai di rumahku saat kami sedang seru mengobrol tentang beberapa novel yang sama-sama kami sukai.
“Nah, Sakura-san, oyasumi nasai,” ujar sensei saat meninggalkanku di depan pintu rumahku.
“Oyasumi nasai, Kakashi-sensei,” ujarku.
                Saat punggungnya menjauh entah kenapa aku merasa… kesepian? Aku tidak mengerti, lagi-lagi perasaan kompleks menyelimuti hatiku.  Tapi kali ini, perasaan itu begitu menyesakkan, sehingga aku harus melakukan sesuatu untuk mengatasinya.
‘Cepat panggil dia, bodoh!’ inner selfku membentak, membuatku reflex menyerukan namanya.
“Kakashi sensei!!”
                Ia berbalik menghadapku.
“Hn?”
                Aku membungkuk ke arahnya.
“Terima kasih banyak untuk hari ini, dan…” aku tak yakin kalau aku mampu melanjutkan kalimatku, tapi pada akhirnya kupaksakan diriku menyelesaikan kalimatku sambil menatap mata heterokromianya.  “Apakah sensei keberatan kalau aku sesekali ingin bertemu dengan sensei untuk… mengobrol? Mungkin aku bisa membantu mengedit karya ilmiah sensei untuk jurnal ilmiah dan um…”
                Perkataanku terputus instrumental karya Toshio Masuda mengalun dari telepon genggamku.  Sebuah panggilan tak terjawab dari nomor yang tak terdaftar di kontak telepon genggamku.  Dan saat aku melihat ke arah Kakashi-sensei, ia mengacungkan telepon genggamnya.
“Itu nomorku.  Aku tak keberatan selama kau memastikan untuk menghubungiku sebelum kau datang.  Dan, terima kasih telah mengingatkanku soal jurnal ilmiah, sepertinya lagi-lagi aku butuh bantuanmu.  Kau keberatan?” ujarnya sambil menggaruk rambutnya yang keperakan—gerakan yang menyatakan maaf merepotkan.
“Sama sekali tidak sensei.  Aku senang kalau aku bisa membantu,” ujarku semangat.  Aku lalu memastikan kalau aku memeberikan senyum terbaikku padanya.  “Oyasumi nasai, Kakashi-sensei.”
“Oyasumi nasai, Sakura.”
                Aku segera masuk ke rumahku.  Cepat-cepat aku menyimpan nomor Kakashi-sensei di kontak telepon genggamku dan memastikan kontaknya berada di speed dial seperti nomor orang tuaku dan ketiga sahabatku.
                Tunggu… kenapa sensei bisa tahu nomorku?
                Dan kalau tidak salah dengar… bukankah dia baru saja menyebut namaku tanpa embel-embel san?
***
Normal POV
                Pria dengan rambut perak itu menyeringai di balik maskernya sambil mengemudikan Peugeot hitamnya.
“Kuharap aku bisa melihat wajah bingung dan terkejutnya saat ia berpikir kenapa aku mengetahui nomornya dan saat menyadari kalau aku memanggil namanya tanpa suffix… Dan mukanya akan diwarnai dengan gradasi warna merah…”
                Tak lama, seringainya berubah menjadi tawa kecil.  Ah, murid berambut merah mudanya itu memang selalu berhasil membuatnya lepas dari kepenatan setelah menyusun penelitian untuk karya ilmiahnya.
‘Syukurlah aku bertemu dengannya malam ini.’

Jumat, 18 Februari 2011

Wshing to The Star part 02

Mata Sora kecil melebar ketika sebuah grand piano diletakkan di ruangan tepat di depan kamarnya.
“Ayah, ini apa?” tanya Sora kecil saat ayahnya duduk di depan piano itu.
“Ini piano, dengar, benda ini bisa menghasilkan suara yang indah!”
            Ayahnya lalu memainkan twinkle-twinkle little star.  Mata Sora kecil selalu mengikuti gerakan jari ayahnya yang menari di atas piano.
“Wuah! Sora boleh coba?!”
“Tentu!”
            Betapa terkejutnya ayahnya—juga ibunya yang baru naik ke atas bersama cemilan, melihat Sora memainkan twinkle-twinkle little star dengan indah.  Saat itu Sora baru 6 tahun dan ia berhasil memainkan pianonya.
“Nampaknya bakatmu mengalir dalam darah anak kita, ya?” kata Shizue.
“Hm... sepertinya aku harus mengasahnya lagi,” kata sang suami sambil tersenyum penuh semangat.
“Gimana?” tanya Sora kecil.  Ayah dan ibunya langsung memelukny, sambil berkata,
“Indah sekali, sayang!”
“Ayah, mulai sekarang, Sora mau belajar piano, aku ingin jadi pianis hebat seperti ayah!”
“Hm! Ayah akan mengajarimu dengan keras, kau siap?” tanya ayahnya sambil menepuk kepala Sora kecil.
“Ya!”
            Umur 8 tahun Sora sudah menguasai lagu lagu sulit.  Ia lalu tammpil pertama kali dalam concour saat usianya 10 tahun.  Umur 12 tahun, ia sudah dapat sabuk hitam dari Tae Kwon Do.  Semua berjalan lancar pada awlanya...
...Namun hidupnya mulai menghadapi rintangan....
Saat Sora berumur 13 tahun, ayah yang paling ia sayangi meninggal dunia karena kecelakaan.  Ibunya yang dahulu berjiwa muda, dan sudah seperti sahabat sendiri menjadi seorang workaholic, karena depresi atas kematian sang suami yang mendadak, dan ia membuang grand pianonya....cita citanya...
***
“Ayah! Ayah, bangun!!!!”
“Sora...Hentikan...”
“Nggak mau... hiks! SORA NGGAK MAU AYAH PERGI!!!”
“HENTIKAN SORA!KAU MEMBUAT SEMUANYA JADI SULIT!!!”
“huu... hiks!!ibu, jangan buang piano itu!! IBU JANGAN...”
Sret!
Sora bangun dari tidurnya.
“hhh... mimpi masa lalu...” gumam Sora. 
Semenjak ayahnya meninggal, ia selalu dijejali berbagai macam les agar kelak menjadi penerus ibunya, penerus perusahaan yang turun temurun dipunyai keluarga ibunya, “Himeno Group”.
Sora lalu menatap langit dari jendelanya.  Sinar bulan menerangnya dengan lembut, sehingga mampu membuatnya tertidur kembali.
***
“Hee? Melihat hujan meteor?” tanya Sora.
“Hn! Aku ingin melihatnya bersama Yuizaki!” kata Aoi.
“Hari ini, ya? Mendadak sekali....”
“Maaf deh.  Tadinya mau kukasih tahu kemarin, tapi aku lupa...” sesal Aoi.
      Sora merenung sebentar.  Ia teringat memo yang ditulis ibunya.

‘Sora hari ini kamu harus pulang cepat, karena ada calon relasi perusahaan kita yang akan datang bertamu.  Dia datang jam 8.  Kamu harus biasa dengannya karena kelak kau akan menjadi penerus perusahaan Himeno.’'

“Gimana Yuizaki? Nggak juga nggak a...”
“Aku ikut!” potong Sora cepat.
“Begitu? Baguslah!”
“Jam berapa mulainya?”
“Sekitar jam setengah sembilan.  Gimana?”
“Bisa...” jawab Sora pelan.
***
      Sora merapatkan mantelnya.  Ia lalu melirik jam dinding di kamarnya.
“Jam 8 kurang 10,” batinnya.
                  Ia lalu mengambil syal, dan melingkarkannnya di leher.  Wajar ia memakai semua itu karena pada malam itu udara cukup dingin, meski sudah masuk bulan Januari.
      Kemudian, Sora merapikan kasurnya.  Ia lalu membuka jendelanya, dan menaiki dahan pohon yang ada di dekat jendelanya, lalu melompati benteng rumahnya.
“Aman!”
            Ia lalu berlari ke tempat mereka janjian, yaitu Teitou Gakuen.  Sepi, tentu saja.  Ia datang 5 menit lebih awal.
“Yuizaki, udah nunggu lama?” sahut suara di belakngnya.
”Nggak, aku baru nyampe...”
“Hm... kalau gitu, ayo naik!”
            Aoi mengayuh sepedanya menuju bukit belakang sekolah.
“Eh, Kitami, ini isinya apa?” tanya Sora sambvil memegang tas berbentuk tabung.
”Itu isinya teleskop.  Biar bisa melihat meteornya lebih jelas...”
“Oh... nanti aku juga mau coba ya?” ujar Sora antusias.
“Tentu...”
            Aoi lalu menghentikan sepedanya.  .
“Gimaana? Viewnya bagus kan?”
“Iya, keren banget!” sahut Sora.
            Di bukit itu bintang terlihat jelas dan sangat luas, tanpa polusi cahaya yang berlebihan.  Sora tak henti hentinya menatap langit sambil mendengar Aoi yang menunjuk bintang dan menyebutkan namanya.
Syuut!
“Wuah! Itu dia!!!” sahut mereka berdua bersamaan saat nelihat meteor yang jatuh pertama.  Aoi lalu melihatnya dari teleskop yang sudah ia siapkan.
“Kitami, aku mau coba!” kata Sora.  Sora terlihat sangat tertarik dan senang.  Aoi hanya tersenyum melihatnya.
            Sora lalu duduk di sebelah Aoi yang masih melihat meteor yang berjatuhan.
“Hm... aku ingin membuat permohonan...”
“Itu cuma mitos Yuizaki,” kata Aoi sambil terus melihat meteor dengan teleskopnya.
“Iya sih, tapi... ada satu hal yang aku ingin hal itu dikabulkan.”
“Apa itu?”
“Aku ingin.... terus main piano...” kata Sora sambil menatap jauh ke langit.
“Ah, satu lagi... aku juga ingin terus bersama Kitami ...” sambung Sora.  Suasana yang cukup gelap saat itu tidak bisa membuat Sora melihat pipi Aoi yang sedikit bersemu merah.
            Setelah Aoi mencatat sesuatu—dan Sora yang sudahselesai menulis music di partitur yang ia bawa di saku mantelnya, mereka pulang.
***
            Aoi hendak mengantar SOra sampai depan rumahnya.  Sekitar 50 meter sebelum sampai rumah Sora, seorang wanita paruh baya—bersama seorang pemuda, menyetop sepedanya.
“SORA?!DARIMANA SAJA KAMU?!” bentak wanita itu, yang tak lain adalah Shizue, ibu Sora.
            Sora turun dari sepeda.  Ia lalu membungkuk dalam dalam.
“Maaf ibu, maaf tuan Mizuno.”
Ibunya tak mengacuhkannya, lalu menghampiri Aoi.
”KAU?! KAU YANG MEMBUAT PUTRIKU JADI….”
Ucapan Shizue lalu terpotong oleh Sora yang langsung berdiri di antara mereka—menghalangi ibunya untuk lebih dekat lagi dengan Aoi.
“Kitami tak ada hubungannya, jangan melibatkan dia, bu.”
Shizue lalu melihat sesuatu yang menyembul dati saku mantel Sora.  Ia langsung mengambilnya.
“APA INI?! KERTAS PARTITUR?! KAU MASIH BERANI MAIN PIANO, YA?!”
Shizue lalu merobek kertas partitur itu.  Aoi lalu turun dari sepedanya.
“Tante, hentikan! Jangan hancurkan mimpi Yuizaki!”
Saat Aoi akan menghampiri Shizue, Sora lagi lagi menghalanginya.
“Kitami, pulanglah, kumohon,” pinta Sora sambil menunduk dan membelakangi Aoi.  Suaranya bergetar, seperti mau menangis.
“Yuizaki…”
“Kumohon…” akhirnya Sora mengangkat wajahnya, lalu berbalik dan menatap Aoi.
“Aku akan baik baik saja, tenanglah,” ucap Sora yakin.
Aoi tak bisa berhenti melihat mata safir milik Sora.  Tatapannya begitu kuat, dan sedikit berkaca kaca.
            Sora lalu mendekat kepada ibunya, dan memegang pundak ibunya.
“Ibu, mari masuk.  Kasihan tamu kita, sudah melihat kejadian yang tak mengenakkan,” ucap Sora lembut sambil tersenyum.
            Seketika itu juga, Shizue langsung tenang melihat putrinya mulai bersikap semestinya sebagai calaon penerus Himeno Group.  Sementara itu, Aoi hanya diam terpaku melihat perubahan sikap Sora. 
Ia tahu betapa perihnya hati Sora saat Shizue merobek partiturnya, mimpinya.
Karena ia pernah merasakannya.
            Sora kemudian menghampiri sang tamu.
“Maaf atas kejadian tak mengenakkan barusan, Tuan Mizuno Tennou…” kata Sora sambil membungkuk dalam.  Tennou lalu memegang pundak Sora, menegakkan badannya.
“Tidak apa,” jawabnya sambil tersenyum.
“Kalau begitu, mari masuk.  Akan saya buatkan teh.  Mari…”
Mereka bertiga masuk ke dalam, meninggalkan Aoi yang masih terpaku di luar.
            Saat Aoi hendak mengayuh sepedanya, handphonenya bergetar.  Ternyata ada sebuah e-mail singkat.

From:  Yuizaki Sora

Maaf…dan terima kasih.  Menyenangkan sekali hari ini.

-end-

            Aoi lalu menghela nafas.
“Apa yang terjadi sebenarnya?”
                                                                            ***             

            Sora lalu menghidangkan teh buatannya.  Ia lalu duduk di kursi di seberang Tennou.
“Jadi, mm… bagaimana tentang perusahaan kita?”
            Shizue lalu menjelaskan tentang perusahaan mereka yang akan bekerja sama karena Himeno Group ingin menambah bidang usahanya, yaitu bidang kesehatan.  Sedangkan perusahaan milik Tennou, yaitu Mizuno Group adalah perusahaan yang memiliki rumah sakit yang termasuk salah satu rumah sakit terbaik.
“Selain itu….” Shizue lalu menatap putrinya.
“Sora, kau akan ibu tunangkan dengannya, Mizuno Tennou.”
“Uh…uhuk!” Sora tersedak saat menyeruput tehnya.
“Maaf ibu, sepertimya saya salah de….”
“Ya, kau akan menjadi tunangan pewaris perusahaan Mizuno, Mizuno Tennou…”
            Sora lalu melirik ke  arah Tennou.  Pria dengan rambut coklat itu tersenyum.  Matanya yang tajam berwarna abu abu itu, sepertinya sudah banyak membuat para gadis terpesona.
Kecuali Sora, tunangannya sendiri.
“Bagaimana, Nona Yuizaki Sora?” tanya Mizuno.
  Sora lalu melirik ibunya, mencari tatapan kau-boleh-menolaknya-jika-kau-keberatan darinya.
Namun nihil.  Yang ia lihat hanya tatapan bilang-iya-saja.
            Sora hanya mengangguk kecil.  Ia tak berani menentang ibunya lagi.
‘Karena nantinya ibu hanya punya Sora.’
Sebaris kalimat itulah yang membuat ia terus menjalani semua dikte dari ibunya…
 “Kalau begitu kita adakan pertunangan 2 minggu lagi…”   
Semuanya…

Minggu, 19 Desember 2010

Wishing to The Star~ part 01

This is the sequel of "The Blue Sky"
enjoy it!
------------------------------------------------------------------------------------------------

Sora tak menyadari lanigit yang mulai gelap.  Jarinya terus menekan tuts tuts piano di ruang musik SMA Teitou Gakuen, mengalirkan nada nada yang harmonis.
            Kali ini ia memainkan für elise, setelah menulis dan memainkan nada buatannya sendiri.  Gerakan jarinya terhenti ketika ia mendengar suara langkah kaki mendekat.  Ternyata, selain berbakat bermain piano, tangannya juga berbakat membuat seseorang dikirim ke rumah sakit terdekat.
Grek! Pintu terbuka.
Hampir saja Sora melayangkan tinjunya, tapi dengan cepat ia menahannya.
“Lho, Kitami? Kenapa masih disini?”
“Ah, tadi aku ketiduran di atap, lalu terbangun oleh für elise-mu...” kata Aoi setelah lama nge-blank karena hampir ditonjok.
“Waah, maaf mengganggu tidur siangmu...”
“Nggak apa.  Justru gawat kalau Yuizaki nggak ngebangunin aku.  Lihat, langit sudah gelap, tuh!” balas Aoi sambil menunjuk keluar jendela.
“Wuaah... benar!  Duh, aku keasyikan main!” seru Sora sambil membereskan kertas partitur kosong yang berantakan.
“Kenapa Yuizaki masih disini?”
“Tentu saja main piano.”
“Lho bukankah di rumahmu bisa?”
“Di rumahku nggak ada piano...”
“Hm...” gumam Aoi.  ‘Ini aneh.  Setahuku keluarga Yuizaki sangat kaya, sehingga mudah saja bagi mereka membeli grand piano sekalipun.  Harusnya kalau orangtuanya menyetujui, mereka minimal membelikannya upper piano...’ pikir Aoi.
“Kitami, kok bengong?”
“Ng... nggak.  Yuizaki mau pulang ‘kan?”
“He-eh,” jawab Sora sambil menenteng tasnya.
“Kuantar naik sepeda mau kan?”
“Eh, nggak usah! Nanti merepotkan!” tolak Sora.
“Tapi bahaya gadis sepertimu jalan sendirian di malam hari...”
“Mungkin nggak buatku.  Gini gini aku pernah ikut tae kwon do sampai sabuk hitam, lho,” ucap Sora bangga sambil tertawa kecil.
“Pokoknya aku nganter Yuizaki, titik!” potong Aoi.  Kedengaran kekanakan, memang, tapi ucapan itu membuat Sora tersenyum senang.
“Ya udah.  Kamu duluan aja, aku ngunci ruangan ini dulu,” kata Sora akhirnya.
“Hm.  Kutunggu di loker sepatu.”  Aoi lalu menuruni tangga.  Ruang musik itu memang ada di lantai 2, tepat di bawah atap.
            Sora mengunci ruang musik.  Setelah itu, ia memeriksa hp nya sambil menuruni tangga.  Ada satu pesan yang baru masuk sekitar 15 menit yang lalu.

From: Ibu

Kamu dimana? Kenapa belum pulang?

-end-


‘Cih,’ batin Sora.
“ Yuizaki, ayo.  Nanti tambah larut,” tegur Aoi saat Sora terus memandangi pesan tadi.
“Iya...”
Sora dan Aoi lalu berjalan ke tempat parkir sepeda.  Terlihat sebuah sepeda hitam dengan boncengan di belakangnya.
“Yuk, naik!” kata Aoi mengagetkan Sora yang melamun.
“Seriusan naik ini? Aku berat lho!” goda Sora.
“Ayo, nggak apa apa...”
Sora akhirnya naik ke sepeda itu.
“Rumah Yuizaki di mana?”
“Ah di komplek Chou Chou blok A.”
“Hmm... berarti lewat pertokoan Ajisai, ya?”
“Yep!”
Aoi terus mengayuh sepedanya, sementara Sora hanya menikmati angin musim dingin yang menyentuh kulitnya.  Aoi lalu berhenti di toko ramen di pertokoan Ajisai.”He? Kok berhenti?” tanya Sora.
“Aku lapar.ramen disini enak lho, kutraktir ya?” tawar Aoi.
“Eh tapi aku... nggak lapar...”
Kruyuuk
‘Great, perutku sudah tidak kompak,’ rutuk Sora pelan.
“Hahaha... keliatan bohongnya, tuh! Ayo masuk!”
***
            Selesai makan , Aoi mengantar Sora sampai depan rumahnya.
Rumah keluarga Yuizaki memang cukup besar.  Halamannya dikelilingi pepohonan yang rindang.
“Makasih ya, udah ngantr sampai sini.... Oh ya, rumah Kitami di mana?”
“Ah, rumahku di komplek Chamomile...”
“Eh?! Kalau gitu berlawanan dengan rumahku dong?! Uwaa, maaf kamu jadi repot balik arah...” potong Sora.
“Never mind, hehe.  Nah, aku pulang dulu...” kata Aoi sambil memutar balik sepedanya.
“Iya, makasih banyak.  Hati hati di jalan!”
            Sora membuka pintu rumahnya perlahan.
“Darimana saja kamu?” tanya wanita berusia setengah baya, yang tak lain adalah ibunya, Shizue Himeno, atau Shizue Yuizaki.  Matanya sama sekali tak lepas dari laptopnya.
“Habis ekskul, bu,” dusta Sora.
“Sebaiknya kau berhenti saja dengan kegiatanmu yang nggak penting.  Ingat, kau harus fokus agar bisa meneruskan perusahaan kita dan...”
“Menjaga nama baik keluarga, ya bu, aku tahu itu.  Aku ke kamar dulu ya, selamat malam,” potong Sora dingin.  Kalimat itu sudah ia hapal mati.  Sebenarnya, kalau mood-nya sudah jelek, dia takkan memakai sopan-santunnya.
            Sora menaiki tangga menuju kamarnya.  Sebelumnya, ia masuk ke sebuah ruangan di seberang kamarnya.  Ruangan itu tetap kosong, meski Sora berharap ‘benda itu’ ada disitu setiap kali ia melongok ke ruangan kosong tersebut.
            Ia lalu masuk ke kamarnya, meletakkan tas di kursi meja belajarnya, dan berganti baju.  Ia lalu merebahkan dirinya di atas kasurnya yang empuk berwarna biru.
-----------------------------------------------------------------------------------------

Minggu, 28 November 2010

The Blue Sky

waaw.. ini cerita pertama yang saya upload ke blogger...
enjoy it....
***
Sora menatap halaman sekolah dengan tatapan kosong.  Gadis itu berada di atap setelah pelajaran seni musik, satu satunya pelajaran favoritnya.  Pandangannya lalu menyapu seisi atap.  Tanpa disadarinya, sekitar 10 m darinya ada seorang cowok.  cowok itu, yang tadinya terus mambaca buku, menoleh dan tersenyum pada Sora.

Sora  lalu ingat percakapan dengan temannya beberapa hari lalu.
"Kau tahu Kitami Aoi?" kata Nami, teman Sora.
"Iya, lah! dia kan teman sekelas kita.  Memangnya kenapa?" tanya Sora cuek.  Sora adalah tipe cewek cuek.  Otaknya selalu kosong, seperti isi sel gabus, tapi ia cukup baik dalam pelajaran sehingga meraih peringkat 5 besar di sekolahnya.
"Baru baru ini aku dengar, ternyata dia itu murid jenius yang sudah menamatkan kuliah di jurusan astronomi.  Selain itu, ia pun menguasai pelajaran lainnya, lho!"
“Bahkan ia pernah ditawari untuk bekerja di lembaga antariksa negara lho, saking jeniusnya!” tambah Rui.
"Lalu, kenapa ia memutuskan menjadi siswa SMA?"
"Yaah, katanya dia ingin menikmati masa SMA, karena ia belum sempat merasakannya.  Sebaiknya kau jangan mendekatinya, dia orang aneh, tahu!"
-flashback end-
Sora duduk di atap itu.  Pandangannya tetap kosong, sampai seseorang menepuk pundaknya.
"Kenapa Yuizaki disini? bukankah pelajaran sudah mulai?" Sora menoleh.  Ternyata Aoi yang menepuk pundaknya.  Sora pun memandang ke bawah lagi dengan kosong.
“Malas saja.  Kau sendiri kenapa ada di sini?” balas Sora, cuek.
“Ah.. tadi aku diusir Tomoya sensei gara gara aku mengoreksi kesalahannya,” jelas Aoi dengan tampang bingung.  Aoi pun duduk di sebelah Sora.
“Kau sedang melihat apa sih?”
“Tidak… aku tidak melihat apapun.  Hanya memandang kosong halaman sekolah.”
Sunyi kembali menyelimuti mereka berdua.
“Hei, Yuizaki, kalau kuperhatikan keningmu selalu berkerut, ya?”
“Biar saja.  Itu bukan urusanmu,” balas Sora dengan nada dingin.
“Kenapa sih, kamu ketus begitu?! Menyebalkan tahu!” pancing Aoi.  Ia sengaja ingin membuat Sora meledak.
‘Mungkin kalau dia meledak, masalahnya akan terlupakan..” pikir Aoi,
“Biar saja.  Kalau kau tak suka aku, menjauhlah!”
            Aoi mulai kehilangan kesabaran. Ia lalu mendorong Sora sampai Sora tergeletak di tanah.
“HEI! APA-APAAN….” Aoi menutup mata Sora dengan tangannya.
“Tenanglah…. Tidak apa apa…” kata Aoi dengan suara lembut.  Entah kenapa, Sora langsung tenang.
“Tanganmu dingin, ya… menyejukkan…” gumam Sora.
“Kau sepertinya punya banyak masalah ya?”
“ Darimana kau tahu?” tanya Sora.  Matanya masih ditutup oleh tangan Aoi.
“Sebenarnya aku ngambil double degree di jurusan psikologi.  Jadi aku cukup banyak tahu tentang manusia.”
“Kamu enak sekali, ya? Jenius, pasti orang tuamu bangga.  Yah, aku memang punya banyak masalah, sih…”
“Boleh kutahu masalahmu? Mungkin aku bisa membantu…”
“Akhir akhir ini… hatiku merasa sempit.  Gampang marah, juga gampang bengong.  Mungkin karena tertekan…” kata Sora sambil tersenyum kecut.
“Apa yang membuatmu tertekan?”
“Orang tuaku… terlalu banyak mengaturku.  Pulang sekolah pasti aku sibuk dengan macam macam les, seperti les pelajaran, balet, merangkai bunga, minum teh… banyak sekali!  Dadaku sampai sesak memikirkan itu semua!  Segala kegiatanku di atur, sampai aku tak punya waktu untuk beristirahat melakukan apa yang kusukai! Menyebalkan!” Sora meledak.  Aoi terkejut.
“Kau mirip denganku, ya?”
“Apa maksudmu?!”
“Sebenarnya dulu pun aku disuruh jadi dokter oleh keluargaku, untuk meneruskan usaha keluarga.  Setiap hari, selalu dijejali dengan buku kedokteran, video operasi, sampai rasanya mau meledak!”
“Lalu kenapa kamu malah mengambil jurusan astronomi?! Apa kamu nggak ditentang orang tuamu?! Dan kenapa kamu bisa seceria itu, meski dengan tekanan dari keluargamu…”
“Karena aku… menyukai langit…”
“Ha?”
“Setelah lelah dengan kegiatan itu, aku memutuskan untuk kabur dari rumah.  Aku menemukan pondok di desa kecil.  Dan saat aku berbaring di rumput, akku melihat langit, dan dengan caranya sendiri, langit membuat hatiku luas, dan membuatku tertarik.  Orang tuaku akhirnya menyetujui aku untuk masuk jurusan astronomi….” Kata Aoi sambil tersenyum.  Ia lalu membuka mata Sora.
            Sora lalu melihat langit berwarna biru cerah tak berawan.  Tiba tiba air matanya menetes.
“Ah…. Entah kenapa hatiku jadi lega…. Aku ingin hatiku seluas dan sejernih langit biru….” Sora tersenyum.
“Kalau kau merasa hatimu sempit, tataplah langit.  Dengan caranya sendiri, langit dapat membuat hatimu lapang,” kata  Aoi sambil melihat langit dan tersenyum.  Sora lalu berdiri.
“Terima kasih, Kitami! Aku harus melakukan sesuatu!” Sora lalu berlari kebawah.  Ia lalu masuk ke ruang seni musik yang kosong, dan membuka tutup pianonya.
            Jari Sora bergerak lincah menekan tuts tuts piano memainkan melodi yang indah dan harmonis.  Ia tak sadar bahwa permainan pianonya terdengar ke seluruh penjuru sekolah.  Melodi yang ia ciptakan sendiri mengundang para siswa untuk melihat orang yang berada di ruang musik.
‘Terima Kasih, Aoi…’ batin Sora.
***
A Few Days Later
            Sora menghampiri Aoi yang tengah menatap langit.
“Cuaca hari ini cerah ya?” sapa Sora.  Aoi menoleh.
“Ya,” Aoi terdiam sebentar. “Sekarang keningmu nggak berkerut lagi, ya?” Sora duduk di sebelah Aoi
“Ah, yah.... orang tuaku sudah menyetujuiku yang ingin fokus ke piano..." jelas Sora, namun ia tak berani menatap mata Aoi.
“Hm...” gumam Aoi.  'Ia tak berani melakukan kontak mata denganku.  Jangan jangan ia bohong...?' pikir Aoi.
"Tapi permainan Yuizaki bagus, aku suka sekali!" puji Aoi.
“Ya.  Ini semua berkat kau. Aku sekarang jadi senang membuat lagu saat menatap langit.  Terima kasih banyak, Kitami!” Sora tersenyum lebar.
“Kamu memang manis kalau tersenyum,” kata Aoi sambil tersenyum.  Deg! Jantung Sora berdetak kencang.
“Ah! Aku harus ke ruang guru,” kata Sora sambil buru buru berdiri.  Entah kenapa Sora merasa aneh dengan suasana seperti tadi.
“Yuizaki, tunggu!”
“Ya?”
“Maukah kau… melihat langit bersama sama tiap hari?!” tanya Aoi dengan wajah gugup.
“Hihihi…. Aoi aneh! Tentu saja!” Sora terkikik geli.  Perasaan tadi jadi lenyap begitu saja.
‘Let this feeling flows slowly... under the blue sky...'  batin Sora sambil tersenyum ke arah langit